Oleh : Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Salah satu prinsip dasar Ahlus sunnah
wal jamâ’ah yang tercantum dalam kitab-kitab aqidah para Ulama salaf adalah
kewajiban mengimani bahwa kaum Mukminin akan melihat wajah Allâh Azza wa Jalla
yang maha mulia di akhirat nanti.
Ini adalah balasan terhadap keimanan
dan keyakinan mereka yang benar kepada Allâh Azza wa Jalla semasa hidup di
dunia.
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah,,
salah seorang imam Ahlus sunnah wal jamâ’ah di zamannya, menegaskan prinsip
dasar Ahlus sunnah yang agung ini dalam ucapan beliau rahimahullah, “(Termasuk
prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban) mengimani (bahwa kaum
Mukminin) akan melihat (wajah Allâh Azza wa Jalla yang maha mulia) pada hari
kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits-hadits yang shahih”[1]
Imam Ismail bin Yahya al-Muzani
rahimahullah berkata [2] , “Pada hari kiamat, para penghuni surga akan melihat
(wajah) Rabb mereka (Allâh Azza wa Jalla), mereka tidak merasa ragu dan bimbang
dalam melihat Allâh Azza wa Jalla, sehingga wajah-wajah mereka akan ceria
dengan kemuliaan dari-Nya dan dengan karunia-Nya mata-mata mereka akan melihat
kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal abadi…”[3] .
Demikian pula imam Abu Ja’far
ath-Thahawi rahimahullah [4] menegaskan prinsip yang agung ini dengan lebih
terperinci dalam ucapannya,
“Memandang wajah Allâh Azza
wa Jalla bagi penghuni surga adalah kebenaran (yang wajib diimani), (dengan
pandangan) yang tidak menyeluruh (artinya, tidak melihat secara keseluruhan) dan tanpa (menanyakan) bagaimana (keadaan yang sebenarnya), sebagaimana
yang ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an) :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
﴿٢٢﴾ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada
hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat
[al-Qiyâmah/75:22-23]
Penafsiran ayat ini haruslah
sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki (bukan berdasarkan akal dan hawa
nafsu manusia), dan semua hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menjelaskan masalah ini adalah (benar) seperti yang beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan, dan maknanya seperti yang beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam inginkan.
Kita
tidak boleh membicarakan masalah ini dengan menta’wil (menyelewengkan
arti yang sebenarnya) dengan akal kita (semata-mata), serta tidak mereka-reka
dengan hawa nafsu kita, karena tidak akan selamat
(keyakinan seseorang) dalam beragama kecuali jika dia tunduk dan patuh kepada
Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihyhi
wa sallam, serta mengembalikan ilmu dalam hal-hal yang kurang jelas baginya
kepada orang yang mengetahuinya (para ulama Ahlus sunnah)”[5] .
DASAR PENETAPAN AQIDAH INI
1. Firman Allâh Azza wa Jalla:
1. Firman Allâh Azza wa Jalla:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
﴿٢٢﴾ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada
hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat
[al-Qiyâmah/75:22-23]
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allâh Azza
wa Jalladengan mata mereka di akhirat nanti.
Karena dalam ayat ini Allâh Subhanahu
wa Ta’ala menggandengakan kata “melihat” dengan kata depan “ilâ” yang berarti
bahwa penglihatan tersebut berasal dari wajah-wajah mereka. Artinya mereka melihat wajah Allâh Azza wa Jalladengan indera penglihatan
mereka.[6]
Bahkan firman Allâh Azza wa Jalla ini
menunjukkan bahwa wajah-wajah mereka yang indah dan berseri-seri karena
kenikmatan di surga yang mereka rasakan, menjadi semakin indah dengan
mereka melihat wajah Allâh Azza wa Jalla.
Dan waktu mereka melihat wajah Allâh
Subhanahu wa Ta’ala adalah sesuai dengan tingkatan surga yang mereka
tempati, ada yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi
dan petang, dan ada yang melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap
pekan [7] .
2. Firman Allâh Azza wa Jalla:
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ
وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ
الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada
pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allâh Azza wa Jalla).
Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka
itulah penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya [Yûnus/10:26]
Kata “tambahan” dalam ayat ini
ditafsirkan langsung oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
yang shahih, yaitu dengan kenikmatan melihat wajah Allâh Azza wa Jalla, dan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami makna
firman Allâh Azza wa Jalla[8] .
Dalam hadits yang shahih dari seorang
sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ
الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ
فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا
مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ
مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ
وَزَادَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
Jika penghuni surga telah masuk surga,
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, (yang artinya)
“Apakah kalian (wahai penghuni surga)
menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga) ?”
Maka mereka menjawab, “Bukankah Engkau
telah memutihkan wajah-wajah kami ?
Bukankah Engkau telah memasukkan kami
ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka ?”
Maka (pada waktu itu) Allâh
membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan
penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka
sukai dari pada melihat (wajah) Allâh Azza wa Jalla”. Kemudian Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas.[9]
Dalam hadits ini dengan gamblang,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat wajah Allâh Azza wa Jalla adalah kenikmatan
paling mulia dan agung serta melebihi kenikmatan lainnya
di surga.[10]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di
surga adalah memandang wajah Allâh yang maha
mulia. Karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi)
semua (kenikmatan) yang Allâh berikan kepada para penghuni surga.
Mereka berhak mendapatkan kenikmatan
tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena
karunia dan rahmat Allâh”[11] .
Lebih lanjut imam Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab beliau Ighâtsatul Lahafân[12] menjelaskan
bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (yaitu melihat wajah Allâh Azza wa
Jalla) merupakan balasan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada orang yang
merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman,
kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan
tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya.
Beliau rahimahullah menjelaskan hal ini
berdasarkan lafazh doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah
hadits yang shahih, “Aku meminta kepada-Mu (ya Allâh) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti)
dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di
dunia)…”[13]
3. Firman Allâh Azza wa Jalla:
لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا
وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ
Mereka di dalam surga memperoleh apa
yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami (ada) tambahannya (yaitu melihat
wajah Allâh Azza wa Jalla). [Qâf/50:35]
4. Firman Allâh Azza wa Jalla:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ
يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka
(orang-orang kafir) pada hari kiamat benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb
mereka [al-Muthaffifin/83:15]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika
menafsirkan ayat ini, beliau rahimahullah berkata, “Ketika Allâh Azza wa Jalla
menghalangi orang-orang kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada
mereka), maka ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dicintai-Nya akan
melihat-Nya karena Dia ridha (kepada mereka).”[14]
Demikian pula dalil-dalil dari
hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menetapkan masalah ini sangat banyak bahkan mencapai derajat
mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalur sehingga tidak bisa
ditolak).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“(Keyakinan bahwa) orang-orang yang beriman akan melihat (wajah) Allâh
Subhanahu wa Ta’ala di akhirat nanti telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang
shahih, dari (banyak) jalur periwayatan yang (mencapai derajat) mutawatir,
menurut para imam ahli hadits, sehingga mustahil untuk ditolak dan
diingkari”[15] .
Di antara hadits-hadits tersebut adalah
dua hadits yang sudah kami sebutkan di atas. Demikian pula hadits yang
diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda (yang artinya),
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb
kalian (Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat nanti) sebagaimana kalian melihat bulan purnama (dengan
jelas), dan kalian tidak akan berdesak-desakan dalam waktu
melihat-Nya…”[16]
KERANCUAN
DAN JAWABANNYA
Demikian jelas dan gamblang keyakinan dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah ini, tapi bersamaan dengan itu beberapa kelompok sesat yang pemahamannya menyimpang, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah mengingkari keyakinan yang agung ini, dengan syubhat-syubhat (kerancuan) yang mereka sandarkan kepada dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang mereka selewengkan artinya sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Demikian jelas dan gamblang keyakinan dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah ini, tapi bersamaan dengan itu beberapa kelompok sesat yang pemahamannya menyimpang, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah mengingkari keyakinan yang agung ini, dengan syubhat-syubhat (kerancuan) yang mereka sandarkan kepada dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang mereka selewengkan artinya sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Namun, kalau kita renungkan dengan
seksama, kita akan dapati bahwa semua dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan
sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka gunakan untuk
membela kebatilan dan kesesatan mereka, pada hakikatnya justru merupakan dalil
untuk menyanggah kebatilan mereka dan bukan untuk mendukungnya [17] .
Di
antara sybhat-syubhat mereka tersebut adalah:
1. Mereka berdalih dengan firman Allâh Azza wa Jalla:
1. Mereka berdalih dengan firman Allâh Azza wa Jalla:
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا
وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي
وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي
ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا
ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat
dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman
(langsung kepadanya), berkatalah Musa, “Ya Rabbku, nampakkanlah (diri-Mu)
kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
“Kamu sekali-kali tak sanggup untuk
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (seperti
sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”.
Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada
gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan.
Maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata,
“Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada
Engkau dan aku orang pertama-tama beriman” [al-A’râf/7:143]
Mereka mengatakan bahwa dalam ayat ini
Allâh Azza wa Jalla menolak permintaan nabi Musa Alaihissallam untuk
melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan” yang berarti penafian selama-lamanya,
ini menunjukkan bahwa Allâh Azza wa Jallatidak akan mungkin bisa dilihat
selama-lamanya [18] .
Jawaban Terhadap Syubhat Ini :
a. Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti penafian selama-lamanya, adalah pengakuan tanpa dalil dan bukti, karena ini bertentangan dengan penjelasan para Ulama ahli bahasa arab.
a. Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti penafian selama-lamanya, adalah pengakuan tanpa dalil dan bukti, karena ini bertentangan dengan penjelasan para Ulama ahli bahasa arab.
Ibnu Malik, salah seorang Ulama ahli
tata bahasa Arab, berkata dalam syairnya :
Barangsiapa yang beranggapan bahwa
(kata) “lan” berarti penafian selama-lamanya Maka tolaklah pendapat ini dan
ambillah pendapat selainnya [19]
Maka makna yang benar dari ayat ini
adalah bahwa Allâh Azza wa Jalla menolak
permintaan nabi Musa Alaihissallam tersebut sewaktu di dunia, karena
memang tidak ada seorangpun yang bisa melihat-Nya di dunia.
Adapun di akhirat nanti maka
Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan hal itu bagi orang-orang yang beriman [20]
. Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
تَعَلَّمُوا أَنَّهُ لَنْ يَرَى
أَحَدٌ مِنْكُمْ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَمُوتَ
Ketahuilah, tidak ada seorangpun di
antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allâh) Azza wa Jalla sampai dia mati
(di akhirat nanti)” [21]
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ditanya oleh Abu Dzar Radhiyallahu anhu :
هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ
نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ
Apakah engkau telah melihat Rabb-mu
(Allâh Azza wa Jalla) ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “(Dia terhalangi dengan hijab) cahaya, maka bagaimana aku (bisa)
melihat-Nya ?”[22] .
Oleh karena itulah, Ummul Mukminin
Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata,
“Barangsiapa yang menyangka bahwa nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat Rabb-nya (Allâh Azza wa
Jalla) maka sungguh dia telah melakukan
kedustaan yang besar atas (nama) Allâh”[23]
b. Permintaan nabi Musa Alaihissallam
dalam ayat ini untuk melihat Allâh Azza wa Jalla justru menunjukkan bahwa Allâh
Azza wa Jalla mungkin untuk dilihat.
Karena tidak mungkin seorang hamba yang
mulia dan shaleh seperti nabi Musa Alaihissallam meminta sesuatu yang mustahil
terjadi dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak
Allâh Azza wa Jalla.
Karena permintaan sesuatu yang mustahil
dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allâh Azza
wa Jalla hanya dilakukan oleh orang yang bodoh dan tidak mengenal Rabb-nya.
Sementara nabi Musa Alaihissallam
terlalu mulia dan agung untuk disifati seperti itu, bahkan beliau Alaihisallam
adalah termasuk nabi Allâh Azza wa Jalla yang mulia dan hamba-Nya yang paling
mengenal-Nya[24] .
Maka jelaslah bahwa ayat yang mereka
jadikan sandaran ini, pada hakikatnya jutru merupakan
dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.
2. Mereka berdalih dengan firman Allâh
Azza wa Jalla:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ
وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah
Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui [al-An’âm/6:103]
Jawaban Atas Syubhat Ini:
a. Sebagian dari Ulama salaf ada yang menafsirkan ayat ini dengan, “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa melihatnya.”[25]
a. Sebagian dari Ulama salaf ada yang menafsirkan ayat ini dengan, “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa melihatnya.”[25]
b. Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla
hanya menafikan al-idrâk yang berarti al-ihâthah (meliputi/melihat secara
keseluruhan), sedangkan melihat tidak sama dengan meliputi[26] , bukankan manusia bisa melihat matahari di siang hari tapi dia
tidak bisa mengetahuinya secara keseluruhan?[27]
c. al-Idrâk (meliputi/melihat secara
keseluruhan) artinya lebih khusus (spesifik) dibandingkan dengan kata ar-ru’yah
(melihat), maka dengan dinafikannya al-idrâk menunjukkan adanya ar-ru’yah
(melihat Allâh Azza wa Jalla), karena penafian sesuatu yang lebih khusus
menunjukkan keberadaan sesuatu yang lebih umum [28] .
Sekali lagi ini membuktikan bahwa ayat
yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya jutru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan
mendukungnya.
PENUTUP
Demikianlah penjelasan ringkas tentang salah satu keyakinan dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang agung, melihat wajah Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Demikianlah penjelasan ringkas tentang salah satu keyakinan dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang agung, melihat wajah Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan memahami dan mengimani masalah
ini dengan benar, maka peluang kita untuk mendapatkan anugrah dan kenikmatan
tersebut akan semakin besar, dengan rahmat dan karunia-Nya.
Adapun orang-orang yang tidak
memahaminya dengan benar, apalagi mengingkarinya, maka mereka sangat terancam untuk terhalangi dari mendapatkan
kemuliaan dan anugrah tersebut, minimal akan
berkurang kesempurnaannya, na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Dalam hal ini salah seorang ulama salaf
berkata,
“Barangsiapa
yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan, maka dia tidak akan mendapatkan
kemuliaan tersebut.”[29]
Akhirnya kami berdoa kepada Allâh Azza
wa Jalladengan doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di
atas:
Aku meminta kepada-Mu (ya
Allâh) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti)
dan aku meminta kepada-Mu kerinduan
untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا
محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
09/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Kitab Ushûlus Sunnah (hlm. 23, cet. Dârul Manâr, Arab Saudi).
[2]. Beliau adalah imam besar, ahli fikih dan murid senior imam asy-Syâfi’i (wafat 264 H). Biografi beliau dalam kitab Siyaru a’lâmin Nubalâ (12/493).
[3]. Kitab Syarhus Sunnah, al-Muzani (hlm. 82, cet. Maktabatul gurabaa’ al-atsariyyah, Madinah).
[4]. Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Salâmah, imam besar dan penghafal hadits Rasûlullâh n (wafat 321 H). Biografi beliau dalam kitab Siyaru A’lâmin Nubalâ’” (27/15).
[5]. Kitab Syarhul Aqîdatith Thahâwiyyah (hlm. 188-189, cet. Ad-Daarul Islaami, Yordania).
[6]. Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/448).
[7]. Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 899).
[8]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/452).
[9]. HSR Muslim dalam Shahîh Muslim (no. 181).
[10]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/453).
[11]. Kitab Tafsir Ibnu Katsir (4/262).
[12]. Mawâridul Amân, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad Dammaam, 1415 H, hlm. 70-71 dan 79
[13]. HR an Nasa-i dalam as-Sunan (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/264), Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya (no. 1971) dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibbân, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani dalam Zhilâlul Jannah fii Takhrîjis Sunnah (no. 424).
[14]. Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam “Haadil arwaah” (hal. 201) dan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (8/351).
[15]. Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (8/279).
[16]. HSR al-Bukhari (no. 529) dan Muslim (no. 633).
[17]. Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/457).
[18]. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir (3/469) dan Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/455).
[19]. Dinukil oleh syaikh al-‘Utsaimin kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/456).
[20]. Lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 302) dan Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/456).
[21]. HSR Muslim (no. 169).
[22]. HSR Muslim (no. 291).
[23]. HSR Muslim (no. 177).
[24]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/457).
[25]. Tafsir Ibnu Katsir (3l310).
[26]. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir (3l310).
[27]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/457).
[28]. Ibid.
[29]. Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam kitab an-Nihâyah fiil Fitani wal Malâhim (hlm. 127).
_______
Footnote
[1]. Kitab Ushûlus Sunnah (hlm. 23, cet. Dârul Manâr, Arab Saudi).
[2]. Beliau adalah imam besar, ahli fikih dan murid senior imam asy-Syâfi’i (wafat 264 H). Biografi beliau dalam kitab Siyaru a’lâmin Nubalâ (12/493).
[3]. Kitab Syarhus Sunnah, al-Muzani (hlm. 82, cet. Maktabatul gurabaa’ al-atsariyyah, Madinah).
[4]. Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Salâmah, imam besar dan penghafal hadits Rasûlullâh n (wafat 321 H). Biografi beliau dalam kitab Siyaru A’lâmin Nubalâ’” (27/15).
[5]. Kitab Syarhul Aqîdatith Thahâwiyyah (hlm. 188-189, cet. Ad-Daarul Islaami, Yordania).
[6]. Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/448).
[7]. Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 899).
[8]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/452).
[9]. HSR Muslim dalam Shahîh Muslim (no. 181).
[10]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/453).
[11]. Kitab Tafsir Ibnu Katsir (4/262).
[12]. Mawâridul Amân, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad Dammaam, 1415 H, hlm. 70-71 dan 79
[13]. HR an Nasa-i dalam as-Sunan (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/264), Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya (no. 1971) dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibbân, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani dalam Zhilâlul Jannah fii Takhrîjis Sunnah (no. 424).
[14]. Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam “Haadil arwaah” (hal. 201) dan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (8/351).
[15]. Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (8/279).
[16]. HSR al-Bukhari (no. 529) dan Muslim (no. 633).
[17]. Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/457).
[18]. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir (3/469) dan Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/455).
[19]. Dinukil oleh syaikh al-‘Utsaimin kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/456).
[20]. Lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 302) dan Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/456).
[21]. HSR Muslim (no. 169).
[22]. HSR Muslim (no. 291).
[23]. HSR Muslim (no. 177).
[24]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/457).
[25]. Tafsir Ibnu Katsir (3l310).
[26]. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir (3l310).
[27]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/457).
[28]. Ibid.
[29]. Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam kitab an-Nihâyah fiil Fitani wal Malâhim (hlm. 127).
sumber : https://almanhaj.or.id/3839-memandang-wajah-allah-azza-wa-jalla-anugerah-terbesar-di-surga.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar